Umar dan Abu Bakar

Ketika Khalifah Abu Bakar Shiddiq dalam keadaan sakit menjelang kewafatannya, sempat memanggil ‘tangan kanan’nya Umar Ibn Khatthab menghadap.
Setelah menguji konsistensi dan ketegasan sahabatnya itu, sang Khalifah berterus terang mengemukakan keinginannya agar Umar bersedia menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya. “Jangan , Abu Bakar!” tukas Umar sepontan, “Aku tidak memerlukan jabatan khalifah itu.”
“Tetapi kekhalifahan memerlukanmu, Umar;” sahut Khalifah, “Aku khawatir maut menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa khalifah lalu terjadi seperti apa yang terjadi di Saqiefah dulu.”
“Tunjuklah penggantimu selain aku!”
“Siapa?”
“Abu ‘Ubaidah, misalnya. Dia Amienul Ummah, Kepercayaan Umat.”
“ Memang itu sudah aku pikirkan juga, Umar, namun aku tidak melihat pada diri ‘Ubaidah Ibn Jarrah kekuatan seperti yang ada pada dirimu. Dia memang dapat dipercaya; tapi aku ingin orang kuat yang dapat dipercaya. Al-qawiyyul amien!” Kaum muslimin saat ini menghadapi dua singa, Parsi dan Rum. Mereka dihadapkan kepada hanya dua pilihan: Ataukah mereka akan menyinari dunia dengan cahaya Islam, atau dunia akan memadamkan cahaya Islam.”
“Allah akan menyempurnakan cahaya Islam, betapa pun orang-orang kafir tidak senang.”
“Allah menyempurnakan cahaya Islam melalui hamba-hambaNya yang patut, yang berjuang, yang ikhlas!”
“Bagaimana kau memilihku, wahai Khalifah, sedang aku sering berbeda pendapat denganmu?”
“Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati; bila mengatakan ya, ia mengatakannya sepenuh hati.”
Mereka terus berdebat saling bertukar argumentasi. Yang satu bersikeras meminta, yang lain bersikeras menolak. Didesak terus, akhirnya Umar yang perkasa itu pun menangis. “Abu Bakar, aku mengkhawatirkan diriku, agamaku, dan akheratku …”
“Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini ada dua orang yang celaka: pertama, orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu; dia menolak semata-mata karena lari dari tanggungjawab dan enggan berkhidmah kepada umat.”
“Wahai Abu Bakar, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari Kiamat kelak!”
“Kau lupa, Umar; imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payungNya.”
Umar semakin keras menangis, “Imam yang adil ya; tapi aku?”
“Kau juga. Kau juga, Umar!”
“Besok di hari Kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakar, bila Allah menghendaki menghukumku.”
“Wahai Umar anak Ibu Umar; bukan demikian Allah ditakwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat yang longgar turun selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin selalu dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang ia tidak berhak atasnya dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunyai tanggungjawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepadaNya. Dan akan rusaklah tatanan dan tersia-siakanlah hak-hak mustadl’afin.”
“Apakah tidak ada orang lain selain aku yang lebih pantas dan mampu?”
“Baiklah, mari kita nilai dirimu. Maukah kau dengan sejujur-jujurnya menilai dirimu sendiri?”
“Baik.”
“Katakan, demi Allah yang mengetahui apa yang ada dalam hatimu, apakah kau melihat orang yang lebih pantas memegang jabatan ini melebihimu?”
“Aku tidak meragukan bahwa ada orang yang lebih baik katimbang aku.”
“Jawab pertanyaanku, wahai Umar, apakah kau melihat di antara kaum muslimin setelah aku, ada orang yang lebih kuat katimbang dirimu dalam mempertahankan kedaulatan mereka?”
Umar menahan deras air matanya dan menjawab lirih, “Allahumma Laa. Memang tidak.”
“Alhamdulillah!”
“Tapi kau harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang, wahai Abu Bakar.”
“Aku akan melakukannya, Umar. Hambatan yang terberat sudah kulalui, insya Allah yang lain akan lebih mudah.”
***
Kisah di atas saya nukil-sarikan dari Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsier. Siapa tahu dalam suasana demam capres-wapres dimana banyak orang ngiler mencalonkan diri menjadi penguasa, orang dapat mengambil pelajaran dari tokoh-tokoh salaf kita itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PEMILIHAN KETUA RW

Proposal Khitanan Massal dan Tabligh Akbar

Penyerahan calon panganten pamegeut