Reposisi Peran Ortu dlm Pendidikan Anak

Oleh : Indra Budiman*

Pada tahun 1970, di Clifornia, seorang ibu yang berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis yang berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan kepada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal yang aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang saat ia tidak henti-hentinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang tuanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya sendiri dengan pistol. Ia meninggalkan catatan, "Dunia tidak akan pernah mengerti."
Mungkin ia benar. Dunia tidak akan pernah mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie, demikian nama samaran gadis tersebut, melewati masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuat tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara. Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya. Kakak laki-laki Genielah yang berusaha memberi makan dan minum. Itu pun sesuai dengan perintah ayahnya, harus dilakukan dengan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakak dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik karena takut pada ayahnya.[1]
Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau dapat mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang baru berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie bia mengingatkan kita bahwa karakter anak dapat dibentuk atau sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Maka pantas kalau nabi Muhammad mengikatkan :

كل مولود يولد على الفطرة  فابواه ان يهودانه او ينصرانه او يمجسانه

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah (bersih). Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi."
Dari ilustrasi di atas, penulis tidak bermaksud untuk mengungkap kejadian dibalik peristiwa itu. Tetapi sekedar memberikan warning betapa pentingnya peran orang tua dalam menentukan nasib masa depan anaknya. Pemberian anak pada hakikatnya amanah yang diberikan Allah kepada kita. Dan Allah tidak akan memberikan suatau amanah yang tidak akan bisa kita pikul. Dengan demikian, dititipkannya anak, berarti Allah menganggap kita mampu untuk mengurusnya.
Mengurus anak bukan sekedar memberi makan dan membesarkannya, akan tetapi lebih dari sekedar itu. Coba renungkan ayat al-qur'an berikut ini:

ياايهاالذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا وقودهاالناس والحجارة عليهاملئكة غلاظ شداد لايعصون الله ما امرهم ويفعلون ما يؤ مرون
"Hai orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan ahlimu (keluargamu) dari api neraka, yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu-batu. Dijaga para Malaikat yang keras dan dahsyat. Yang tiada durhaka melakukan perintah yang diberikan Allah, dan melakukan yang diperintahkan-Nya."(Q.S. At-Tahrim : 6)[2]
Kalimat 'quu' dalam ayat di atas merupakan segat fiil amr (kata kerja bentuk perintah). Sedangkan dalam kaidah ushul fiqh ; "Al-ashlu fi al-amri li al-wujubi", asal dari sebuah perintah pada dasarnya menunjukkan sesuatu yang diwajibkan. Maka memelihara atau menjaga diri sendiri dan ahli kita adalah kewajiban. Kemudian siapakah yang dimaksud dengan 'ahli' dalam ayat ini? Para ahli tafsir bersepakat yang dimaksud ahli dalam ayat ini adalah kelurga kita termasuk anak di dalamnya.[3]
Ketika turun ayat ini, Umar bin Khottob bertanya kepada Rasulalloh : "Ya Rasulalloh ! kami telah menjaga diri kami masing-masing. Tetapi bagaimanakah menjaga ahli kami?" Rasulalloh menjawab : "Kamu larang mereka terhadap hal-hal yang dilarang Allah kepada kamu. Dan kamu suruh mereka terhadap hal-hal yang diperintahkan Allah kepada kamu."[4]
Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengurus anaknya bukan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan jasmani semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemenuhan pendidikan rohani – keagamaan, dalam hal ini agama islam - bagi anaknya, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai ketakwaan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan. Tidak semua orang tua mampu memenuhi kebutuhan anaknya, terlebih dalam pemenuhan kebutuhan yang disebut terakhir tadi. Di sinilah seharusnya para orang tua menyadari akan perlunya bantuan orang lain atau dari lembaga pendidikan agama guna mewujudkan tanggung jawabnya. Namun yang perlu dicatat, bahwa lembaga pendidikan agama apa pun itu namanya, dalam hal mendidik anak hanya sekedar peran pembantu sementara yang menjadi tokoh atau pemeran utamanya adalah orang tua anak.
Lantas bagaimanakan orang tua bisa memainkan peran sebagai tokoh utama dengan sempurna dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya ? dan bagaimanakah peran orang tua, ketika lembaga pendidikan agama dilibatkan dalam mengurus pendidikan anaknya ? Permasalahan-permasalahan ini kiranya masih layak untuk dibicarakan, yang kemudian permasalahan ini akan penulis bahas lebih mendalam dalam tulisan kali ini.

Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak
Pendidikan bagi anak kiranya tidak usah diperdebatkan lagi, karena saya pikir semua kalangan sependapat bahwa yang menjadi penanggung jawab utama adalah kedua orang tuanya. Sementara pihak lain, seperti sekolah atau madrasah dengan seluruh civitas akademika hanya berperan sebagai pembantu dalam mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya. Namun yang menarik bagi penulis, bagaimanakah orang tua bisa memainkan peranannya dengan baik dalam mendidik anak-anaknya? Karena tidak jarang, orang tua terjebak dalam kerancuan atau kesalahan berpikir dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya. Maka untuk meraih kesuksesan dalam mendidik anak kiranya harus diawali dengan perubahan cara berpikir para orang tua dalam mendidik anaknya. Karena mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita.[5]
Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa hal yang menjadikan kesalahan berpikir  atau lebih tepatnya kerancuan berpikir para orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya. Pertama, kesalahan awal orang tua dalam tujuan menyekolahkan anak. Walaupun sebagian besar keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh anak itu sendiri. Tetapi tidak bisa dipungkiri peranan orang tua dalam memberikan dorongan terhadap anaknya juga sangat menentukan, apalagi untuk anak usia dini – seperti di Raudhotul Atfal dan Sekolah Dasar. Ada beberapa kerancuan cara berpikir orang tua, diantaranya :
1.      Menyekolahkan anak sebagai rutinitas biasa. Sekedar menjalankan rutinitas anak yang sudak mencapai batas awal usia sekolah. Jika anak umur lima tahun harus masuk TK atau usia enam tahun harus masuk SD, setelah itu harus SMP, kemudian SMA dan seterusnya. Bila cara berpikir atau motivasi orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak seperti itu, maka ia tidak akan merasa adanya tanggung jawab yang lebih dari perannya dalam mendidik anak selain dari memberikan biaya.
2.      Menyekolahkan akan untuk mendapat gelar penghormatan. Dampaknya orang tua hanya berpikir tingginya status sosial yang harus diraih anak dalam masyarakat tanpa mempertimbangkan perubahan sikap pada diri anak. Orang tua memberikan pendidikan sebatas gengsi saja dan akan merasa malu sama orang lain bila ia tidak bisa menyekolahkan anaknya, karena dianggap ia tidak mampu. Bila sikap orang tua seperti ini, maka yang terjadi adalah anak menjadi matrelialis dan hedonis.
3.      Menyekolahkan anak demi mendapat ijazah agar bisa mendapatkan pekerkerjaan di kemudian hari. Sehingga ia akan merasa cukup puas ketika anaknya tiap hari masuk sekolah dan setelah tamat ia dapat ijazah. Selebihnya dari itu ia tidak mau tahu.
Penulis pikir, kesalahan berpikir di atas tidak toh sertaus persen disalahkan. Dari perspektif lain mungkin akan terasa betul. Makanya pikirang-pikiran di atas lebih tepatnya disebut kerancuan dalam berpikir. Dan kerancuan berpikir seperti itu harus mulai dihilangkan dari pemikiran para orang tua. Karena kalau tidak, hanya akan menimbulkan sikap apatis para orang tua dalam mendidik anaknya. Ia akan merasa puas telah menyekolahkan anaknya karena kewajiban untuk mendidik anak telah gugur, sementara tidak mau tahu hasil pendidikan yang diperoleh oleh anaknya. Padahal tujuan menyekolahkan – dalam hal ini mendidik anak – jauh lebih mulya dari sekedar itu. bila kita perhatikan surat al-tahrim ayat 6 di depan, bahwa pendidikan diarahkan untuk menjauhkan kita dan keluarga kita dari api neraka. Oleh karena itu, yang dituntut di sini bukan sekedar menjadikan anak itu pintar, tetapi juga dituntut adanya perubahan sikap pada diri anak ke arah yang lebih baik. Yang sudah barang tentu yang dijadikan standar penilaian baik di sini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat terutama syari'at islam. Atau dalam bahasa tafsir al-marogi imam Al-marogi menyebutkan: "Maa ihtahsana al-syar'u wa al-aqlu" pendidikan untuk perubahan sikap ke arah yang sesuai dengan apa yang baik dan dibenarkan oleh agama – dalam hal ini agama islam – dan apa yang dianggap baik dan dibenarkan oleh akal manusia.[6]
Hal ini sejalan dengan tiga ranah pendidikan, bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif menghendaki adanya penambahan dalam pengetahuan atau wawasan anak, yaitu merubah anak menjadi pintar. Kemudian afektif menghendaki adanya pelaksanaan dari pengetahuan yang telah dimiliki. Jadi, afektif menghendaki adanyab perubahan sikap dan mental anak, yaitu merubah anak menjadi lebih santun yang sesuai dengan aturan atau norma-norma yang berlaku. Sedangkan psikomotorik menghendaki anak memiliki keahlian atau keterampilan setelah dilakukannya pendidikan.
Dengan demikian, motivasi dan tujuan orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya harus lebih diarahkan demi terciptanya perubahan tiga aspek tersebut. Substansi dari ketiga asfek tersebut adalah, pertama, perubahan IQ atau kecerdasan. Yaitu merubah anak dari bodoh menjadi pintar. Kedua, perubahan sikap atau akhlak. Yaitu merubah anak dari preman menjadi beriman, dari kurang adab menjadi penyantun. Dan yang ketiga, perubahan keahlian dan keterampilan. Yaitu merubah anak dari males menjadi giat, dari seorang yang tidak ada apa-apa menjadi seorang ahli. Kalaulah tujuan para orang tua dalam menyekolahkan anak sudah seperti itu, penulis yakin perhatian, pengawasan bahkan tanggjung jawab orang tua akan lebih besar dalam mendidik anaknya.
Awas, Jangan sekali-kali mengarahkan pendidikan anak untuk pencapaian hal-hal yang bersifat matrealistis dan hedonis. Ingatlah, ketika nabi Suleman diberi tiga pilihan oleh Allah. Kekayaan, kerajaan atau ilmu. Nabi Sulaeman lebih memilih ilmu, yang pada akhirnya karena kepintarannya kekayaan dan kerajan pun bisa diraihnya.
Kemudian yang kedua, kesalahan berpikir terjadi dalam penempatan posisi orang tua setelah menyerahkan anaknya ke lembaga pendidikan. Orang tua lebih memilih menjadi "penonton" yang hanya mengawasi dan melihat anaknya dididik oleh gurunya ketimbang menjadi pemain secara langsung. Bedanya penonton dengan pemain, kalau penonton hanya bisa menyaksikan adegan dan tidak akan tahu kejadian selanjutnya. Sedangkan pemain, selain ia sedang memainkan peran, ia akan mengetahui kejadian selanjutnya karena telah ditulis dalam perencanaan atau skenario – sistem pembelajaran di sekolah termasuk materi pelajaran di dalamnya. Oleh karena itu, karena orang tua menempatkan dirinya sebagai penonton dalam mendidik anaknya. Maka ia tidak akan mengetahui arah dan tujuan pendidikan yang sedang ditempuh oleh anaknya. Jangankan untuk kurun waktu satu tahun, mungkin untuk satu hari pun ia tidak mengetahuinya. Bagaimana mungkin ia akan bisa mengawasi dan  mengevaluasi keberhasilan pendidikan anaknya, sementara materi pendidikan yang diberikan di sekolah itu pun ia tidak mengetahuinya.
Solusi yang ditawarkan penulis, bagi orang tua jadilah tokon atau pemeran utama, jangan menjadi penonton. Biarkan guru menjadi pemeran pembantu. Dengan demikian, maka kita akan bertanya ; apa yang harus orang tua perankan dan karakter apa yang harus dimainkan ? pemain yang cerdas akan mulai mendekati sang sutradara – dalam hal ini adalah kepala sekolah. Kemudian kepala sekolah mulai memberikan pengarahan dan pemahaman peran yang harus dilakukan oleh orang tua. Dari sini, mulailah orang tua faham terhadap sistem pendidikan – seluruh konsep termasuk materi pendidikan seperti silabus dan rpp – yang akan diberikan kepada anaknya selama ia menempuh pendidikan di sekolah itu.
Kemudian maksud penulis menjadikan orang tua sebagai pemeran utama dengan argumentasi, biasanya pemeran utama lebih dominan muncul ketimbang pemeran pembantu. Demikian dalam pendidikan di sekolah. Orang tua yang akan lebih banyak melaksanakan program pendidikan sekolah. Hal ini bukan berarti mengesampingkan peran guru. Akan tetapi guru hanya sekedar peran pembantu dalam penentuan konsep arah pendidikan dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak ketika berada di sekolah, yang alokasi waktunya cendrung lebih sedikit. Kalau kita hitung lama jam pelajaran dalam satu hari. Penulis mengambil sampel di sekolah RA (raudhatul atfal) yang kebetulan lebih banyak penulis geluti. Satu hari pelajaran hanya diberikan 2,5 jam. Sementara sehari ada 24 jam. Jadi kurang dari 10 % waktu pendidikan yang diberikan. Sementara sisanya yang lebih dari 90 % diberikan dirumah. Di sinilah kebanyakan orang tua tidak menyadari sehingga gagal dalam memainkan perannya sebagai tokoh utama dalam mendidik anaknya.
Oleh karena itu, jadilah pemeran utama yang baik dan mendidik anak dan jadikan guru dan seluruh sivitas akademika di sekolah sebagai patner kerja yang baik pula.
Demikian beberapa kegelisahan penulis yang selama ini penulis gembor-gemborkan demi terwujudnya cita-cita pendidikan anak selama ini. Namun pada tulisan kali ini, penulis belum bisa menjabarkan berbagai permasalah yang sedang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan secara general. Namun kiranya, tulisan ini menjadi awal kemauan untuk merubah arah tujuan pendidikan menuju kearah yang lebih baik.


*  Penulis adalah Kepala Sekolah SD Islam Al-Husna Rangkasbitung, Lebak-Banten
[1]  Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Rosdakarya: 1999
[2]  HB Jassin, Al-Qur'anu'l Karim-Bacaan Mulia: 1982
[3]  Imam Ali Ash-Shobuni, Sofwah al-Tafasir
[4]  Tata Sukayat, Kapita Selekta Syarhil Qur'an, LPTQ Jawa Barat: 2001
[5]  Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial, Rosdakarya: 1998
[6]  Imam Al-Marogi, Tafsir Al-Qur'an Al-Marogi  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PEMILIHAN KETUA RW

Proposal Khitanan Massal dan Tabligh Akbar

Penyerahan calon panganten pamegeut