Sejarah pasang surut PMII dan HMI
Sejarah Pasang Surut Hubungan PMII dan HMI
Membicarakan hubungan PMII dengan HMI dalam sejarah gerakan
kemahasiswaan di Indonesia perlu kehati-hatian, sebab sampai saat ini masih
banyak kita dapatkan penulisan sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia yang
ditulis secara subyektif tanpa dilengkapi data-data yang ada. Keadaan yang
demikian ini pada akhirnya akan merugikan perjuangan pemuda dan mahasiswa Islam
secara keseluruhan, bahkan perjuangan ummat Islam itu sendiri. Kita berharap
dengan mengungkap fakta secara jujur dan obyektif, persoalan yang dulu, bahkan
kini masih dianggap salah dan menodai perjuangan ummat Islam sedikit demi
sedikit akan kita hapuskan, dan tulisan ini jauh dari niat dan sikap apologis
terhadap perjuangan dan langkah yang pernah dilakukan oleh PMII.Seperti kita
ketahui bahwa kelahiran PMII dianggap tidak lain sebagai
tindakan memecah belah persatuan ummat Islam dari sekelompok mahasiswa yang
haus akan kedudukan. Selain itu tuduhan yang cukup menyakitkan adalah bahwa
kelahiran PMII dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ikrar ummat Islam yang
dikenal dengan “Perjanjian Seni Sono”, yang salah satu isinya
adalah “Pengakuan terhadap HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa
Islam di Indonesia”. Selengkapnya penulis akan mengutip secara utuh
isi dari perjanjian tersebut, yang dikutip dari buku Sejarah Perjuangan
HMI (1947 – 1975) Tulisan Drs. Agus Salim Sitompul :
Untuk meningkatkan persatuan ummat Islam itu, yang
menyangkut semua lapangan perjuangan di Gedung Seni Sono (sebelah selatan
Gedung Agung) Yogjakarta dari tanggal 20 – 25 Desember 1949, dilangsungkan
kongres Muslimin II setelah Indonesia Merdeka. Sebanyak 129 organisasi dari
berbagai jenis dan tingkatan, dari segenap penjuru tanah air, sama-sama
bersepakat mengambil keputusan antara lain :
- Mendirikan badan penghubung, mengkoordinir kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dengan nama Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dibawah pimpinan satu sekretariat.
- Menyatukan organisasi pelajar Islam, bernama Pelajar Islam Indonesia (PII)
- Menyatukan organisasi guru Islam dengan nama Persatuan Guru Islam Indonesia (PGI)
- Menggabungkan organisasi-organisasi pemuda dalam satu badan yang bernama Dewan Pemuda Islam Indonesia
- Hanya satu organisasi mahasiswa Islam Indonesia, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi [1])
Dengan membaca poin terakhir dar isi perjanjian Seni
Sono itu, kalangan luar PMII dengan mudahnya menuduh bahwa kelahiran PMII tidak
lain dari upaya memecah belah ummat Islam dan usaha dari sekelompok mahasiswa
yang menginginkan kedudukan. Pernyataan pertama dapat kita buktikan dengan
mengutip tulisan Drs. Agus Salam Sitompul dalam buku Sejarah Perjuangan HMI
(1947 – 1975) sebagai berikut :
…….”Walaupun perjanjian Seni Sono tahun 1949
diputuskan oleh wakil-wakil ummat Islam berbagai organisasi, tetapi ternyata
perjanjian dan keputusan itu sudah dilanggar, tidak dipenuhi, bahkan tidak
dipatuhi dan sudah dilupakan sama sekali terbukti dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam sejenis,………….
Dibidang
organisasi mahasiswa (HMI), kini organisasi mahasiswa Islam ada 6 yaitu:
- Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMI) – PSII berdiri pada 2 April 1956,
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada 17 April 1960,
- Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) berdiri pada 4 April 1964,
- Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri pada 20 Januari 1964,
- Himpunan Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HIMMAH) berdiri pada 8 Mei 1961. [2])
Kalau kita telusuri sejarah perjuangan ummat Islam di
Indonesia, seperti kita ketahui bahwa sebelum adanya perjanjian Seni Sono sudah
ada perjanjian serupa, yang isinya tidak jauh berbeda, yakni kecenderungan
ummat Islam akan wadah-wadah tunggal sebagai pengejawantahan dari semangat
ukhuwah Islamiyah. Perjanjian tersebut dikenal dengan IKRAR 7 NOPEMBER
1945, dimana hanya mengakui Masyumi sebagai wadah satu-satunya partai
politik Islam. Namun karena akhirnya lahir beberapa partai Islam selain
Masyumi, seperti PSII, PERTI, dan akhirnya NU, maka sering dilontarkan
pernyataan-pernyataan bahwa ummat Islam Indonesia memang tidak bisa bersatu,
baik itu dikalangan orang tuanya, lebih-lebih dikalangan pemudanya.
Bagaimanapun juga kelahiran PMII tidak bisa lepas
dari eksistensi NU sebagai
partai politik, tidak juga dapat dinafikan dengan keberadaan organisasi
mahasiswa yang terdahulu yaitu HMI. Apalagi tokoh-tokoh HMI seringkali
menyinggung masalah perjanjian seni sono yang salah satunya isinya adalah
pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa, namun ternyata
dikemudian hari bermunculan organisasi mahasiswa yang lain. Itulah
persoalannya.
Bagi kita jelas bahwa kelahiran PMII punya missi
tertentu dan itu dapat kita lihat dari peran PMII dulu dan kini, dan peran
itulah yang membedakan PMII dengan HMI secara tegas, baik dilihat dari motivasi
lahirnya PMII itu sendiri maupun aktivitas yang senantiasa menjadi ciri dari
organisasi ini.
Ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya PMII,
yaitu antara lain:
- Ikut berpartisipasi membentuk manusia yang memiliki kemampuan intelektual yang disertai dengan kemampuan agamis.
- Berusaha secara preventif, memperhatikan kelestarian Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
- Meneruskan perjuangan para Syuhada dengan melakukan regenerasi kepemimpinan.
Dari motivasi itulah kita dapat membedakan sosok dan
misi yang dibawa oleh PMII dan HMI. Perbedaan tersebut dapat kita baca pada
poin yang kedua, yaitu “Berusaha secara preventif memperhatikan kelestarian
Islam Aswaja” di Indonesia. [3]) Harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada
organisasi mahasiswa selain PMII yang secara tegas menyatakan bahwa organisasi
itu bertujuan mempertahankan dan menyebar luaskan faham Islam Ahlussunnah
Wal-Jama’ah (Aswaja), motivasi inilah yang paling kuat mendorong dilahirkannya
PMII.
Perjanjian seni sono secara gamblang menyatakan bahwa
peserta kongres ummat Islam yang diwakili 129 organisasi Islam itu berikrar
mengakui hanya HMI satu-satunya organisasi mahasiswa Islam. Tetapi sejarah
mencatat bahwa kelak dikemudian hari ternyata lahir tidak kurang dari 5 organisasi
Islam selain HMI. Apakah kelahiran 5 organisasi Islam itu berarti mengingkari
isi perjanjian seni sono tersebut.
Dalam kurun waktu antara tahun 1950 – 1959 berlaku
zaman demokrasi liberal dimana tumbuh dengan suburnya organisasi-organisasi
politik (baca = sayap partai politik). Salah satu upaya agar partai politik itu
dapat berkembang dengan baik adalah dengan merekrut anggota-anggotanya dari
seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini tak terkecuali masyarakat dari
kalangan mahasiswa. Dapat kita maklumi bahwa semua partai politik akan
menganggap mahasiswa sebagai sumber daya potensial untuk memperkuat jajarannya,
hal ini seperti yang dikatakan oleh Onghokham :
…….Tahun pemilihan umum 1955 dimana terjadi perluasan
organisasi mahasiswa partai, seperti HMI (disini Onghokham mengkategorikan HMI
sebagai organisasi partai), GMNI, CGMI, dan lain-lain. Pelembagaan dalam
partai-partai sebagai aktivitas disekitar pemilihan umum, dari gerakan pemuda
zaman itu adalah sangat penting dalam memberikan arah dan tujuan ormas-ormas
mahasiswa. [4])
Disinilah arti penting organisasi mahasiswa bagi kemajuan organisasi politik.
Itulah yang mendorong partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1956
mendirikan SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia)…..
Kelahiran PMII mempunyai motivasi tidak jauh berbeda
dengan organisasi mahasiswa Islam lainnya, yakni merupakan kebutuhan dari
mahasiswa Nahdliyin untuk menyalurkan aspirasinya secara lebih leluasa, seperti
yang dikatakan oleh sahabat Chotibul Umam :
“Jelas bahwa PMII itu dilahirkan atas dasar tuntutan
sejarah perkembangan perkembangan pelajar dan mahasiswa NU. Berdirinya PMII semata-mata
karena waktunya sudah tiba dan kepentingannya sudah sangat mendesak untuk
mengurusi mahasiswa nahdliyin khusunya secara tersendiri telah datang
untuk para mahasiswa nahdliyin buat berdiri di atas kaki sendiri,
membangun suatu gerakan mahasiswa yang lebih dapat dipercaya untuk menjadi alat
revolusi. [5])
Itulah motivasi dan latar belakang kelahiran PMII, dan
bagaimana hubungannya dengan isi Perjanjian Seni Sono ?. untuk menjawab
pertanyaan ini akan penulis kutip pendapat Mahbub Junaidi :
“Perjanjian seni sono itu memang ada tetapi perlu kita
ketahui bahwa maksud dari pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam, adalah manakala HMI mampu menampung seluruh potensi dan
aspirasi mahasiswa Islam yang tergabung di dalamnya. Kenyataannya kelompok
mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak tersalurkan aspirasinya dalam
HMI.”
“Walaupun kongres ummat Islam itu menyatakan dihadiri
129 organisasi Islam tetapi secara faktual kelompok-kelompok mahasiswa Islam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terwakili dalam 129 organisasi ummat Islam itu.
Sehingga kita sebenarnya secara moral tidak punya ikatan apapun dengan isi
perjanjian seni sono itu. [6])”
Lebih lanjut Mahbub Junaidi mengatakan, dalam Pidato
Hari Lahir PMII yang ke 5 :
“Macam-macam intimidasi dan pernyataan yang
dilemparkan ke muka kita pada saat pergerakan kita ini lahir. Misalnya apa sih
perlunya dan maksudnya PMII dilahirkan ?, apakah itu bukan pekerjaan sparatis
?, Apakah itu bukan pekerjaan memecah belah persatuan mahasiswa Islam ?, Apakah
itu bukan pekerjaan orang yang dibakar emosi ?, tetapi tidak realistik sama
sekali. Buat apa sih mahasiswa itu ikut-ikutan berdiri dibawah bendera partai
politik ?, Bukankah mahasiswa Islam itu sebaiknya non partai, bahkan non
politik, supaya lebih mantap dia punya kebaktian, supaya lebih obyektif cara
memandang persoalan, supaya lebih terjamin mutu ilmunya, bukankah mahasiswa itu
cerdik dan bijaksana, ilmu banyak dan akalpun banyak, karena itu sebaiknya
menjadi milik ummat Islam saja, dan tidak perlu menjadi milik partai politik,
begitulah macam-macam pertanyaan yang timbul disaat PMII lahir, lima tahun yang
lalu. [7])”
Itulah reaksi yang timbul ketika PMII lahir seperti
apa yang dipaparkan oleh sahabat H. Mahbub Junaidi dalam pidato Panca Warsa
PMII. Tentu saja reaksi yang paling keras datang dari HMI. Seperti kita ketahui,
basis-basis HMI di perguruan tinggi umum dilumpuhkan oleh CGMI dengan cara
mengeliminasi pengaruh HMI pada lembag-lembaga kemahasiswaan, dalam keadaan
seperti itu harapan HMI lebih banyak bertumpu pada perguruan tinggi agama atau
IAIN, tetapi disinipun HMI justru mendapat saingan keras dari PMII.
Agus Salim Sitompul pernah mengatakan dalam bukunya :
“Karena dominannya HMI di perguruan tinggi sebagai
basis kekuatannya, maka HMI harus ditendang dari kegiatan kemahasiswaan dengan
jalan menyingkirkan anggota-anggota HMI dari dewan-dewan mahasiswa, Senat
mahasiswa, penitia pemilihan, panitia masa perbakti, dengan cara-cara demikian
HMI semakin lama semakin kerdil lantas mati dengan sendirinya”………………
“Dihampir semua universitas/pergutuan tinggi
negeri/swasta kecuali perguruan tinggi Islam dan IAIN, Anggota HMI dikeluarkan
dari Dema/Sema, Panitia masa Perkenalan, serta kegiatan lain yang menyangkut
posisi, kecuali kepanitiaan PHBI (panitia hari besar Islam). [8])”
Dalam posisi yang sulit itu jelas HMI sangat mengharapkan
tetap bertahannya basis mereka di perguruan tinggi agama/IAIN, Misalnya di UII
Yogjakarta dan Universitas Muhammdiyah Jakarta, tetapi kenyataannya kini ada
organisasi mahasiswa Islam lain lahir dan organisasi itu begitu cepat
berkembang, terutama di IAIN. Hal itu wajar mengingat kultur sebagian besar
mahasiswa IAIN berlatar belakang keluarga NU, seperti yang dikatakan oleh
Burhan D Magenda.
“Bahwa dari golongan Islam hampir tidak terwakilidalam
perguruan tunggi di zaman kolonial, dan hanya sedikit jumlahnya pada zaman
demokrasi parlementer. Pada tahun 1960-an kesempatan terbuka lebar bagi mereka
yang berorientasi kebudayaan dekat dengan NU banyak yang masuk ke IAIN”. [9])
Dari gambaran di atas jelas bahwa dalam
perkembangannya PMII mengalami kemajuan yang luar biasa. Dalam usianya yang
baru lima tahun PMII telah memiliki 47 cabang. [10]) Akibatnya
ketegangan-ketengangan mulai timbul, terutama di kampus-kampus perguruan tinggi
agama/IAIN. Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi ketengangan-ketenganggan
itu, maka PP PMII yang dipimpin oleh sahabat Mahbub Junaidi datang ke Kantor PB
HMI untuk membicarakan persoalan kedua organisasi tersebut. Peristiwa itu pada
tanggal 4 Juli 1961. Tapi nampaknya usaha dan uluran tangan PMII itu kurang
membawa hasil. Terbukti dengan semakin kerasnya persaingan yang terjadi antara
kedua organisasi ini. Ada satu fakta sejarah yang tentu saja pemaparan fakta
ini bukan berarti membuka luka lama, tetapi sekedar menegaskan sejarah, apapun
bentuk dari lembaran sejarah itu kita harus dapat menarik pejalaran
daripadanya.
Ketegangan terjadi antara PMII dengan HMI di Kota
Pelajar Yogjakarta, Peristiwanya dimulai tatkala dilangsungkan pidato laporan
tahunan Rektor IAIN Sunan Kalijogo Yogjakarta Prof. Sunaryo, SH pada tanggal 10
Oktober 1963. Sidang senat itu akhirnya gagal, sebab ditengah pembacaan laporan
itu tiba-tiba seorang pengurus dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo tampil
kedepan merebut microphon dan membacakan pernyataan yang antara lain mengecam
tindakan menteri agama, yaitu KH. Syaifuddin Zuhri yang dituduh melakukan
proyek NU-nisasi didalam tubuh Departemen Agama. Bahkan dalam keributan itu
seorang anggota PMII di pukul, sehingga hal ini mengakibatkan munculnya protes
dari pengurus cabang PMII Yogjakarta.
Disamping pernyataan-pernyataan dari PC PMII
Yogjakarta, juga para anggota dewan mahasiswa mengeluarkan pernyataan dengan
nada yang sama dengan PC PMII Yogjakarta. Mereka Djawahir Syamsuri, A. Hidjazi
AS, A. Nizar Hasyim, Imam Sukardi dan Asnawi Latif, BA.
PERNYATAAN PC PMII YOGJAKARTA
Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Berhubung dengan terjadinya peristiwa 10 Oktober 1963
di IAIN Yogjakarta maka pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Yogjakarta
memandang sangat perlu membuat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut :
MENGINGAT :
- Membaca pernyataan dari dewan mahasiswa IAIN Yogjakarta tanggal 10 Oktober 1963
- Pentingnya keutuhan mahasiswa dalam situasi menghadapi konfrontasi terhadap Malaysia
- Terjadinya pemukulan terhadap salah seorang mahasiswa IAIN anggota PMII.
- Tindakan-tindakan yang dipelopori oleh dewan mahasiswa IAIN bertentangan dengan Manipol-Usdek, Panca Dharma Bhkati Mahasiswa
- Tindakan-tindakan itu mencemarkan nama baik IAIN khususnya pemerintah daerah Yogjakarta dan negara Indonesia pada umumnya.
MENYATAKAN :
- Mengutuk keras perbuatan yang terjadi di IAIN yang bertentangan dengan manipol yang berbunyi “modal pokok bagi tiap-tiap revolusi nasional menentang imprealisme dan kolonislisme ialah konsentrasi kekuatan nasional dan bukan perpecahan kekuatan nasional (hal 13).
- Tindakan itu adalah a-manipol, anti persatuan nasional dan kontra revolusioner yang membahayakan negara.
- Bahwa IAIN bukan miliki satu golongan.
MEMUTUSKAN :
- Menuntut dibubarkannya dewan mahasiswa IAIN periode 1963 – 1965
- Menuntut agar yang berwajib mengambil tindakan tegas terhadap peristiwa pemukulan anggota PMII di IAIN
- Menuntut agar diambil tindakan tegas terhadap golongan/ oknum-oknum yang mendalangi peristiwa tersebut
- Mendukung sepenuhnya Rektor IAIN dan Menteri agama.
Demikian harap dimakluni
Yogjakarta 10 Oktober 1963
Pimpinan Cabang
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta
H. Ahmadi Anwar, BA
Ketua
|
Nurshohib Hudan
Sekertaris II
|
Lampiran:
Sengaja isi pernyataan dari pengurus PMII cabang
Yogjakarta ini dimuat secara lengkap agar pembaca dapat melihat dan mengetahui
permasalahan yang sebenarnya.
Pada tanggal 17 Oktober 1963 antar pukul 10.00 – 11.00
telah terjadi demonstrasi oleh sejumlah mahasiswa IAIN Ciputat Jakarta,
berjumlah sekitar 500 orang mahasiswa. Para demonstran itu menamakan dirinya
komite mayoritas mahasiswa IAIN. Mereka menemui Rektor IAIN Prof. Drs Sunardjo
– rektor bersedia menemui mahasiswa dengan didampingi Dekan-dekan Fakultas.
Para mahasiswa membawa poster-poster yang bertuliskan:
“IAIN adalah asset nasional, bukan milik
golongan/partai, NU-nisasi di Departemen agama = kontra revolusi. [11])
Sumber data ini berasal dari Drs. Ridwan Saidi (Mantan
Ketua Umum PB HMI). Selanjutnya akan dipaparkan tanggapan dari KH. Syaifuddin
Zuhri, dalam menanggapi peristiwa 17 Oktober 1963 di IAIN Ciputat itu sebagai
berikut :
Aksi pengganyangan terhadap NU dilancarkan juga di
IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, sekelompok mahasiswa membuat coretan-coretan
pada dinding IAIN dan menyebarkan pamflet “Ganyang NU, Ganyang Idham Khalid,
Ganyang Syaifuddin Zuhri”, sangat terasa pada saat potensi ummat Islam walau
sekecil apapun sedang digalang untuk persatuan dan solidaritas menghadapi usaha
Nasakomisasi hampir di semua kegiatan Nasional. Pada saat itu sekelompok
mahasiswa IAIN melancarkan kampanye anti NU. Sangat disayangkan sekali, bahwa
sebagian besar dari mereka anggota HMI. Dan jika mahasiswa IAIN dari kelompok
PMII bangkit membela NU, hal itu bisa dimengerti.
Dalam situasi menghadapi Nasakomisasi dan pentingnya
arti persatuan ummat Islam, tiba-tiba sekelompok mahasiswa IAIN melakukan
kampanye anti NU dan mengganyang Syaifuddin Zuhri dan Idham Khalid yang
keduanya berkedudukan sebagai Menteri. Demontrasi itu dilakukan di dalam Kampus
IAIN, sebuah komplek perguruan tinggi Islam miliki Negara. Dengan pertimbangan
itulah, maka alat-alat negara menindak beberapa mahasiswa dan dosen IAIN yang
dituduh mendalangi. Namun kepada Kapolri Jenderal Polisi Sukarno Saya
(maksudnya KH. Syaifuddin Zuhri) yang waktu itu menjabat sebagai Menteri agama,
meminta agar mereka dibebaskan. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak kita yang
dididik dalam lingkungan lembaga yang dikelola oleh menteri agama. Brigjen A.
Manan, pembantu utama Menteri agama dan HA. Timur Jailani, MA kepala Biro
Perguruan Tinggi departemen agama dapat berbicara banyak tentang ini. Saya
minta kepada mereka berdua, agar hukuman skorsing kepada mereka yang terlibat
supaya segera diakhiri, agar mereka bisa aktif kembali (kuliah maupun mengajar)
sebagaimana biasanya. [12])
Peristiwa di IAIN Ciputat itu tidak ada penyelesaian
yang berarti, bahkan menambah panasnya suasana, terbukti dengan
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh PP PMII dalam kongres II di
Yogjakarta mengenai peristiwa tersebut.
“Perlu segera diambil kebijaksanaan baru berupa
tindakan-tindakan yang konkrit dan mengurangi kompromi-kompromi serta toleransi
yang keterlaluan demi keselamatan IAIN dan revolusi nasional
……………………………………………..
Mendesak kepada pemerintah agar lebih tegas lagi
bertindak terhadap anasir-anasir kontra revolusioner yang hendak melumpuhkan
IAIN dan menjauhkan diri dari kompromi dan toleransi yang berlarut-larut. [13])
Dari dua peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketegangan antara PMII dan HMI adalah merupakan suatu upaya
mempertahankan eksistensi PMII di Perguruan tinggi yang kelak akan menjadi
basisnya (baca = IAIN). Tetapi bagi HMI, ketegangan-ketegangan itu memang
disengaja supaya dapat mempertahankan dominasinya, karena itu merupakan benteng
terakhir bagi basis kekuatannya, sebab seperti kita ketahui, sejak permulaan
tahun 1960 sampai dengan kelahiran Orde Baru basis kekuatan HMI terpukul habis
di perguruan tinggi umum, dan kita dapat memaklumi bila sudah menyangkut soal
hidup – matinya organisasi maka siapapun aktivis organisasi itu akan
mempertahankan organisasi itu walau dengan cara-cara yang irasional sekalipun.
Itulah ironisnya, jika fanatisme golongan lebih tinggi nilainya daripada
fanatisme terhadap bangsa yang kita cintai ini.
Catatan menarik lainnya seperti yang dikatakan oleh
sahabat Zamroni (yang kala itu menjabat sebagai ketua persedium KAMI pusat),
sehubungan dengan HMI :
“…….Sementara di daerah lain, para pemimpin PMII,
misalnya di Sumatera Utara, Ujungpandang dan Yogjakarta seperti Saiful Mujab –
kala itu jadi tukang pidato membakar massa. HMI sendiri selalu sembunyi.
Masih gencar-gencarnya KAMI melakukan demonstrasi,
tiba-tiba HMI menghadap Bung Karno. Bahkan HMI sampai memberi Peci mahasiswa
kepada Bung Karno. Mungkin bermaksud mendekat “cari muka” supaya tidak
dimusuhi. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap komitmen kita sebagai
mahasiswa dan pemuda Indonesia yang tergabung dalam KAMI, yang saat itu sedang
giat-giatnya berjuang untuk menumbangkan rezim Orde Lama dan membela amanat
penderitaan rakyat.
Begitu pagi-pagi saya bangun tidur, seperti biasanya
baca koran. Dalam koran itu diantaranya memuat tentang HMI. “HMI menyerahkan
atau meberikan Peci kepada Bung Karno”. Spontan saya marah besar. “Apa-apaan
ini. Kita habis melakukan demonstrasi ke Bogor, kok malah HMI begitu”.
Kemarahan itu saya tunjukkan kepada Mar’ie Muhammad (Mantan Menteri Keuangan
Kabinet VII Orde Baru) dan Sulastomo (Kini Ketua Umum Persaudaraan Haji
Indonesia) yang kala itu menjadi wakil HMI di KAMI. Lalu kedua orang ini
menjawab: “Tidak tahu, karena tidak ikut ke Istana Bogor. Tapi yang jelas, PB
HMI menghadap Bung karno ke Bogor”. Alhasil, membuat saya marah besar. [14])
Masalah hubungan PMII dengan HMI diawal tahun 60-an,
memang penuh dengan gejolak perselisihan, tetapi nampaknya ada saat-saat
tertentu justru PMII ikut membela mati-matian terhadap eksistensi HMI pada saat
kritis. Ada catatan-catatan yang mengungkapkan bahwa pada saat tertentu dapat
bekerjasama dengan baik.
Kita ketahui bahwa kondisi ummat Islam pada masa Orde
Lama, terutama bagi mereka yang mendapat kontra predikat revolusioner, nasibnya
benar-benar berada diujung tanduk. Untuk merapatkan barisan dikalangan
organisasi mahasiswa dan pelajar Islam, sebagai implementasi dari semangat ukhuwah
Islamiyah, maka pada tanggal 19 – 26 Desember 1964 di Jakarta (atas prakarsa
GP. Ansor yang didukung sepenuhnya oleh PMII) diadakan musyawarah generasi muda
Islam untuk membentuk suatu wadah yang kelak dikemudian hari dikenal dengan
nama GEMUIS. Didalam wadah inilah segenap
potensi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam bergabung, (Menurut
Drs. Ridwan Saidi pada waktu itu – tahun 1964 – di Indonesia ada sekitar 36
organisasi pemuda, pemudi, pelajar dan mahasiswa Islam tingkat pusat. Lihat
buku : Pemuda Islam dalam dinamika politik Bangsa 1925 – 1984, tulisan Drs.
Ridwan Saidi, halaman 46). Dengan wadah GEMUIS inilah generasi muda Islam
berjuang “membela dan menyelamatkan HMI” dari gempuran CGMI. Dibawah ini kami
kemukakan satu ilustrasi bahwa GEMUIS benar-benar
membela HMI pada
saat-saat yang kritis dan membutuhkan pertolongan :
“Persedium Majlis Nasional Generasi Muda Islam
(GEMUIS) atas nama 25 organisasi anggota dengan 10 juta massa anggotanya dengan
kawatnya yang ditandatangani oleh Drs. Lukman Harun selaku ketua persedium
telah disampaikan kepada Presiden. Dengan menyampaikan rasa syukur atas
kebijaksanaan Presiden mengenai HMI. Dan GEMUIS merasa berkewajiban mengamankan
kebijaksanaan tersebut demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan Nasional.[15])
Sementara berlangsung penganugrahan bintang Maha Putra
di Istana Merdeka untuk DDN. Aidit, pada saat yang sama tidak jauh dari Istana,
pada tanggal 13 September 1965 Generasi muda Islam (GEMUIS) Jakarta Raya dengan
ribuan massa pemuda mengadakan demonstrasi tertib di Krotar dan PB Front
Nasional. Maksudnya untuk menyatakan rasa solidaritas terhadap hidup HMI.
Diantara sekian banyak spanduk dan Poster, ada satu diantaranya yang sangat
mengharukan, yaitu yang dibawa rekan-rekan HMI sendiri yang berbunyi : Langkahi
dulu mayatku sebelum ganyang HMI. [16])
Adapun isi pernyataan GEMUIS Jakarta Raya tersebut
selengkapnya sebagai berikut :
Dengan tegas dan tandas menyatakan akan tetap membela
HMI sampai titik darah penghabisan dari rongrongan kaum agama phobi. HMI
merupakan alat perjuangan ummat Islam dan Bangsa Indonesia, serta memohon
kepada Presiden agar HMI diberi kebebasan bergerak disegala bidang. [17])
Kita ketahui, bahwa HMI dituduh kontra revolusioner
oleh pemerintahan Orde Lama, dan HMI diberi kesempatan waktu selama 6 bulan
untuk memperbaiki dirinya. Pada saat itulah PB HMI datang kepada sahabat Mahbub Junaidi (yang waktu itu menjabat
sebagai Ketua Umum PP PMII). Secara singkat sahabat Mahbub menceritakan :
Suatu hari datang kepada saya dua tokoh HMI, yaitu
Mar’ie Muhammad dan Dahlan Ranuwihardjo, kedatangan kedua tokoh HMI itu
bertujuan agar saya dapat mengusahakan satu permohonan langsung kepada Presiden
Soekarnoe supaya HMI tidak jadi dibubarkan. [18])
Apakah upaya permohonan yang dilakukan oleh sahabat
Mahbub Junaidi itu berhasil atau tidak, lebih lanjut sahabat Mahbub pernah
menulis sebagai berikut :
PERTEMUAN DI ISTANA BOGOR
Kami duduk di paviliun, di Bangku rotan, belum lagi sampai
pada pokok pembicaraan hujan sudah turun, berikut angin. Karena ruang depan
teramat sederhana, kami terpercikkan air, “mari kita pindah kedalam ! kata Bung
Karno. “Beginilah nasib Presiden Indonesia, hujan saja mesti ngungsi”, kata
Bung Karno. Mulailah kubicarakan perihal HMI, “apanya sih yang salah pada diri
HMI itu. Saya orang pernah dari sana, jadi sedikit banyak tahu isi perutnya.
HMI itu pada dasarnya “independen” tidak menjadi bawahan partai manapun, tidak
juga Masyumi. Coba saja lihat anggota-anggotanya mulai dari tingkat atas sampai
tingkat cabang, campur aduk seperti es teler. Perkara belakangan muncul
organisasi mahasiswa lain yang juga berpredikat Islam, itu sama sekali tidak
merubah warna asal. Coba saja lihat pada waktu pemilu 1955, tiap anggota HMI
diberi diberi formulir mau ikut bantu parpol yang mana, ternyata disitu
menghadapi saat-saat yang gawat menjelang pecahnya pemberontakan PRRI, langkah
apa yang ditempuh Ketua Umum HMI Ismail Hasan Metarium cukup jelas. Banyak
jalan menuju roma, seperti banyak jalan dari pada main bubar, dan sebagainya..
Karena seorang Presidenpun perlu makan, maka makan
nasi pecellah kami dengan daging dan tempe goreng. Apakah pembicaraan itu punya
arti bagi HMI, saya tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali. Sekedar
tambahan kecil sebelum lupa, baik juga saya catat disini, Menteri agama
Syaefuddin Zuhri berdiri persis dibelakang layar pertemuan itu. [19])
Dengan nada merendah Mahbub Junaidi seperti tersebut
di atas berkata : “Apakah pembicaraan itu punya arti bagi HMI saya tidak tahu,
mungkin ada, mungkin tidak sama sekali”. Sekedar tambahan penulis kemukakan
disini, jelas pembicaraan itu punya banyak arti bagi “Keselamatan HMI” , sebab
buat apa PB HMI datang meminta tolong pada sahabat Mahbub Junaidi supaya ikut
membantu “menyelamatkan HMI, jika beliau tidak dipandang sebagai tokoh yang
dekat dengan Presiden ?. Sebagai ilustrasi betapa dekatnya hubungan sahabat
Mahbub Junaidi dengan Bung Karno, ada satu pengalaman yang mengharukan antara
Bung karno dengan Mahbub Junaidi :
Bagaimanapun hati sepi adalah hati sepi. Pikiran Bung
Karno menerobos ke masa depan, tetapi sebagai orang yang puluhan tahun
bersama-sama massa, kesendirian adalah suatu beban yang tak tertahankan, Singa
Gurun berpisah dengan kelompoknya, bagaimana bisa bercengkrama dengan
teman-teman ?, bagaimana bisa berseloroh ?, bagaiamana bisa memuntahkan isi
hati yang coraknya senantiasa mondial itu. “Aku ingin ngobrol sambil makan
siang dengan Kiyai-Kiyai NU”, dimana mereka itu sekarang, bagaimana caranya Kau
bisa atur ? dengarkan baik-baik, cuma makan siang, tidak lebih tidak kurang !.
Di Rumah siapa ? tanyaku.
Siapa saja, Idham boleh, Jamaludin Malik boleh. Mana
saja yang sudi mengundangku makan siang. Maka berputar-putarah saya menawarkan
keinginan yang teramat sederhana itu……… H. Moh. Hasan, bekas Menteri
pendapatan, pengeluaran dan penelitian, dan saat itu menjadi Menteri negara
entah apa urusannya.
Baiklah, katanya, maka makan siangpun terjadi di
Rumahnya di Jl. Senopati Kebayoran Baru. Hanya makan siang, sesudah itu bubar.
Almarhum Kiyai Wahab dan Kiyai Bisri (juga sudah almarhum) pun ikut menemani.
Jika tidak seluruhnya, sebagaian tentu ada juga rasa kesepian terobati. [20])
Dalam perjalanan sejarahnya “pertarungan” antara PMII
dan HMI. ketika itu memang terasa semakin mengental, entah apa yang menjadi
alasan bagi mereka, yang jelas Kafrawi Ridwan dkk di Yogjakarta mendemo Mentri
Agama Prof. KH. Saifudin Zuhri. Padahal pada saat-saat yang bersamaan,
disamping Sahabat Mahbub Junaidi, para tokoh PB NU sedang sibuk mondar-mandir
menghadap Bung Karno agar HMI tidak dibubarkan. Ketua Umum PB NU KH. DR. Idham
Chalid dan Mentri Agama Saifudin Zuhri, justru berusaha meyakinkan Bung Karno
agar tidak membubarkan HMI. Langkah-langkah yang dilakukan oleh sahabat Mahbub
Junaidi dan para Tokoh NU ini diketahui persis oleh sebagian pimpinan PB. HMI,
tetapi bagi sebagian yang lain dianggap sebagai angin lalu, dan bahkan dianggap
sesuatu yang mustahil dan tidak pernah ada.
Mahbub Junaidi mau
melakukan pembelaan itu
semata-mata karena ukhuwah islamiyah, dan merasa HMI adalah saudara
seperjuangan sesama mahasiswa Islam. Ketika itu sahabat Mahbub Junaidi
merupakan tokoh mahasiswa – satu-satunya – yang mempunyai akses langsung kepada
Presiden Sukarno.[21]
Pengungkapan fakta ini bukan maksud Penulis ingin agar
jasa-jasa PMII (kalaupun apa yang diperbuat PMII itu dianggap punya arti bagi
HMI) untuk selalu dikenang dan berarti HMI punya hutang budi pada PMII. Kita
hanya ingin agar hubungan yang tidak baik antara kedua organisasi itu dapat
diakhiri sehingga tidak lagi terdengar berita-berita yang saling menjatuhkan
juga saling memojokkan. Karena banyak sekali kasus-kasus yang menimpa warga
PMII akibat diskriminasi pihak-pihak tertentu, seperti adanya ancaman Rektor
salah satu perguruan tinggi Islam yang terbesar dan tertua di Yogjakarta,
menggugat mahasiswanya lantaran sebagian dari mereka berhasil mendirikan
Komisariat PMII yang ternyata berkembang dengan pesat. Atau kasus-kasus lain
yang terjadi di berbagai perguruan tinggi, padahal rata-rata mereka memiliki
prestasi studi yang dapat dibanggakan. Atau bahkan kasus tindakan diskriminasi
dimana kader HMI menjadi salah satu korbannya. Ironis sekali jika
kasus-kasus itu sampai hari ini masih terjadi hanya lantaran rasa dendam
kesumat yang tak kunjung berakhir, pada akhirnya akan merugikan kedua
belah pihak dan menghambat proses Pergerakan Mahasiswa.
Sumber: Buku “PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah
Perjuangan”, Fauzan Alfas dan TulisanKarebet
Sumber Referensi
[1] Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (1947 – 1975), PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 36
[2] Ibid, Halaman 39
[3] Fauzan Alfas, Ke-PMII-an, Materi
ke-PMII-an pada Mapaba PMII Cabang Malang tahun 1989, Halaman 2
[4] Onghokham, Angkatan Muda Dalam
Sejarah dan Politik, Prisma No. 12 Desember 1977, halaman 21
[5] Drs. Chotibul Umam, Sewindu
PMII, PC PMII Ciputat, Jakarta, 1967, Halaman 3
[6] Wawancara dengan H. Mahbub Junaidi di Arena
Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur. Tanggal 8 – 12 Desember 1984
[7] Mahbub Junaidi, Pidato Panca
Warsa PMII, Tanggal 17 April 1965
[8] Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halaman
49
[9] Burhan D Magenda, Gerakan
Mahasiswa dan Hubungannya dengan Politik: Suatu Tinjauan, Prisma No. 12
Desember 1977, Halaman 8
[10] Mahbub Junaidi, Loc-Cit, Halaman 3
[11] Drs. Ridwan Saidi, Antara Dongeng
dan Sejarah, dalam PPP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam, Integrita Press,
Jakarta, 1984, Halaman 57
[12]) Suaefuddin Zuhri, Mengalihkan masalah NU-MI
menjadi issu Orde lama Orde Baru, Dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik
Islam, Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 42
[13] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 58
[14] Drs. HM. Zamroni, PMII dan Proses
Orde Baru, dalam Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi, Effendy
Choiri dan Choirul Anam, Aula, Surabaya, 1991, Halaman 95 – 96
[15] Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halamat 64
[16] Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halaman 64
[17] Ibid, Halaman …
[18] Wawancara dengan Sahabat Mahbub Junaidi, di
arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo Jawa Timur, 1o Desember 1984
[19] H. Mahbub Junaidi, Fakta harus
dijunjung tinggi seperti Mertua, catatan untuk seperempat abad Syaefuddin dan
Bung Ridwan, dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam , Integrita Press,
Jakarta, 1984, Halaman 33
[20] Mahbub Junaidi, Sukarnoisme, Suatu
ujian sejarah dalam 80 Tahun bung karno, Sinar Harapan, Jakarta, 1982,
Halaman 258
[21] ) HA. Baidhowi Adnan, M. Zamroni:
Pejuang Yang Konsisten, dalam Pendahuluan Kilas Balik Perjuangan
Zamroni, Penerbit PB. PMII, 2005, Halaman 4.
Komentar
Posting Komentar