Situasi Bangsa Indonesia Dekade 1950-1959
Era 1950-1959
adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu
terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka
melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan
Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17
Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet
parlementer.
Indonesia
sudah mengalami beberapa perubahan dalam sistem pemerintahan. Pada periode pertama, Indonesia
menganut sitem demokrasi parlementer yang biasa disebut dengan demokrasi liberal. Masa demokrasi liberal ini membawa dampak yang cukup
besar, mempengaruhi keadaan, situasi dan kondisi politik pada waktu itu.
Pada
dasarnya, seharusnya demokrasi liberal adalah suatu sistem politik yang
melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dari
pengertian ini jelaslah, bagaimana kebijakan pemerintahan tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti yang tercantum dalam
konstitusi.
Demokrasi
liberal pertama kali muncul pada abad pertengahan, dari teori kontrak sosial. Penerapan sistem demokrasi pada tiap negara akan berbeda. Di Indonesia
demokrasi liberal yang berjalan dari tahun 1950 -1959 mengalami
perubahan-perubahan kabinet yang mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak
stabil. Pemerintahan pada waktu itu berlandaskan UUD 1950 pengganti konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun
1949.
Ciri-ciri
demokrasi liberal adalah sebagai berikut.
1. Presiden
dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri
bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.
3. Presiden
bisa dan berhak membubarkan DPR.
4. Perdana
Menteri diangkat oleh presiden.
Beberapa
dampak akibat dari sistem demokrasi liberal adalah sebagai berikut.
Dampak
Demokrasi Liberal pada Pemerintahan Indonesia
1.
Karena kabinet mengalami perubahan yang sering, maka pembangunan tidak berjalan
lancar. Pada akhirnya masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan
partai atau golongan.
2.
Tidak memunculkan partai yang dominan, sehingga presiden bersikap di antara
banyak partai pula.
3.
Dengan banyaknya partai, tidak ada badan yudikatif dan eksekutif yang kuat.
Dampak
Demokrasi Liberal pada Masyarakat
1.
Memunculkan pemberontakan di berbagai daerah (APRA, RMS, DI/TII).
2.
Krisis kepercayaan rakyat pada pemerintahan.
Pada tahun
1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidentil menjadi
parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien memiki fungsi
ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan
legislatif. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah
menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950,
dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
Sebelum
Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo
besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian
antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan
pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17
Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet
parlementer.
Dewan
Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi
baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin
pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya,
Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada
masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
* 1950-1951
– Kabinet Natsir
* 1951-1952
– Kabinet Sukiman-Suwirjo
* 1952-1953
– Kabinet Wilopo
* 1953-1955
– Kabinet Ali Sastroamidjojo I
* 1955-1956
– Kabinet Burhanuddin Harahap
* 1956-1957
– Kabinet Ali Sastroamidjojo II
* 1957-1959
– Kabinet Djuanda
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan
digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin. Isi dari Dekrit Presiden tersebut ialah:
1.
Pembentukan MPRS dan DPAS
2.
Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3.
Pembubaran Konstituante
Karena
kebijakan-kebijakan yang dalam pandangan parlementer tidak menguntungkan
Indonesia dan tidak mampu menangani pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
dibeberapa daerah, mengakibatkan kabinet-kabinet jatuh bangun. Akibat situasi
dan kondisi pemerintahan dan negara yang mengalami gejolak pada waktu itu, maka
presiden mengeluarkan dekrit mengenai pembubaran konstituante dan berlakunya
kembali UUD 1945 dan tidak diberlakukannya UUDS (Undang Undang Dasar Sementara)
1950. Demokrasi liberal akhirnya diganti dengan Demokrasi Terpimpin (1959
–1966). Demokrasi terpimpin berjalan semenjak mulai diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Latar
belakang dikeluarkannya dekrit presiden adalah sebagai berikut.
1.
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1959) dan sistem demokrasi liberal tidak
cock dengan kondisi di Indonesia, sementara undang-undang dasar yang menjadi
pelaksanaan pemerintahan belum berhasil dibuat.
2.
Konstituate tidak berhasil dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga
Indonesia tidak mempunyai dasar yang kokoh
3.
Situasi yang kacau dengan bermunculan pemberontakan-pemberontakan di berbagai
daerah.
4.
Konflik antarpartai yang akhirnya mengakibatkan kondisi perpolitikan tidak
sehat.
5.
Partai lebih mementingkan kepentingan partai dan golongan dibandingkan
kepentingan rakyat.
Isi Dekrit
Presiden sebagai berikut.
1.
Pembubaran konstituante
2. Tidak
berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
3.
Pembentukan MPRS dan DPAS
MASA
DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
Pada masa
Demokrasi Liberal yang dimulai tahun 1950 hingga 1959, diwarnai dengan adanya
munculnya partai-partai yang saling berebut untuk menduduki kabinet. Pada masa
ini ada dua partai yang sangat menonjol dalam percaturan politik yaitu PNI dan
Masyumi. Sehingga masa ini diidentifikasikan dengan masa jatuh bangunnya kabinet.
Masa
Demokrasi Liberal kepemimpinan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang
bertanggung jawab kepada parlemen. Dan kabinet disusun menurut pertimbangan
kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh
wakil-wakil partai itu.
Sebelum
melanjutkan kegiatan belajar berikutnya peserta diharapkan mempelajari masa
Demokrasi Liberal.
1. Arti
Sistem Demokrasi Liberal
Suatu bentuk
sistem politik dan pemerintahan yang bersendikan pada asas-asas liberalisme
yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia sistem
Demokrasi Liberal berlangsung sejak tahun 1950 sampai tahun 1959 saat
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa ini perrgantian kabinet
dilatarbelakangi oleh perbedaan yang tajam antara partai-partai melawan partai
yang memerintah. Bahkan pernah terjadi partai menjatuhkan kabinetnya sendiri.
Masa Jatuh
Bangun Kabinet
2. Kondisi
Politik Masa Demokrasi Liberal
Masa Liberal
di Indonesia (1950-1959) biasa pula disebut masa kabinet parlementer. Kabinet parlementer
adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana
Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di
Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun.
Kabinet
disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap
tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan dengan itu
pada masa Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi
terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai
contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai
besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi
berlarut-larut.
Seringnya
pergantian kabinet membuat masa yang singkat itu (1950-1959) dikuasai oleh
beberapa kabinet. Kabinet-kabinet tersebut adalah : Kabinet Natsir (Masyumi
1950-1951), Kabinet Sukiman (Masyumi 1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953),
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (PNI 1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi
1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan akhirnya Kabinet
Djuanda (Zaken kabinet 1957-1959).
Jatuh
bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik
antara partai politik. Misalnya Kabinet Natsir jatuh karena PNI menentang
kebijakannya mengenai Irian Jaya. Konflik partai Masyumi dan PNI ini
dimenangkan oleh Masyumi dan menjadikan kabinet Sukiman berkuasa.
Kabinet
Sukiman tidak berlangsung lama karena ia dijatuhkan oleh PNI. Partai Nasional
Indonesia menentang penandatanganan program bantuan Amerika Serikat kepada
pemerintah RI. Alasan penolakannya adalah karena bantuan itu dapat dipakai
sebagai alat untuk memasukkan RI ke dalam Blok Amerika Serikat. Dengan demikian
menurut PNI, Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang
Dingin” antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat.
Untuk
mengurangi konflik antara PNI dan Masyumi itu Presiden menunjuk tokoh moderat
dari PNI untuk memimpin Kabinet, maka terbentuklah Kabinet Wilopo (1952-1953).
Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan
konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet inipun harus
meletakkan jabatan. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah makin tidak percaya
kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi “peristiwa 17 Oktober 1952”,
yaitu desakan dari pihak-pihak tertentu agar Presiden segera membubarkan
Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat.
Peristiwa 17
Oktober 1952 dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk kepentingan politiknya. Golongan
yang dipimpin Kol. Bambang Sugeng itu tidak menyetujui Kol. A.H. Nasution
sebagai KASAD. Sekelompok partai dalam parlemen menyokong dan menuntut agar
diadakan perombakan pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI.
Keterlibatan
partai dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan
tentara. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden membubarkan Parlemen.
Presiden menolak tuntutan ini sehingga KASAD maupun KSAP meletakkan jabatan.
Mandat pembentukan kabinet tetap diserahkan kepada PNI. Dalam suasana konflik
politik itu, Ali Sastroamidjojo terpilih untuk memimpin kabinet.
Tugas
Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah melanjutkan program kabinet Wilopo, yaitu
antara lain melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih DPR dan Konstituante.
Meskipun
Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil dalam politik luar negeri yaitu, dengan
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dalam bulan April 1955,
namun Kabinet Ali Sastroamidjojo harus meletakkan jabatan sebelum dapat
melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu, alasannya karena pimpinan TNI-AD
menolak pimpinan baru yang diangkat Menteri Pertahanan. Hal ini sebenarnya yang
berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan
Kabinet ini ditolak oleh Korps perwira sehingga menimbulkan krisis kabinet.
Pada saat
itu Presiden Soekarno akan berangkat ke tanah Suci Mekah. Sebelum berangkat
Presiden mengangkat tiga orang untuk menjadi formatur kabinet, yaitu Sukiman
(Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (non partai). Namun ketiga orang ini tidak
berhasil membentuk kabinet hingga terpaksa mengembalikan mandatnya pada Wakil
Presiden Drs. Moh. Hatta. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap dari
Masyumi untuk membentuk kabinet.
Kabinet
Burhanudin (1955-1956), ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan umum. Usaha ini
berhasil sekalipun mengalami kendala-kendala yang berat. Pada tanggal 29
September 1955 pemilihan anggota-anggota parlemem dilakukan, dan pada tanggal
15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Setelah itu kabinet
Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai
dengan hasil pemilihan umum.
Selain
masalah pemilihan umum Kabinet Burhanuddin juga berhasil menyelesaikan masalah
TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kol. A.H.
Nasution
sebagai KASAD pada bulan Oktober 1955. Selain itu dalam politik luar negeri
kabinet ini condong ke barat dan berusaha mengadakan perundingan dengan Belanda
mengenai soal Irian Barat.
Hasil
pemilihan umum 1955 menunjukkan PNI adalah partai yang terkuat. Oleh sebab itu
presiden mengangkat seorang formatur kabinet dari PNI yaitu Ali Sastoramidjojo.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) adalah kabinet koalisi antara PNI dan
Masyumi. Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun. Rencana kerja
ini disebut rencana lima tahun. Isinya antara lain adalah perjuangan untuk
mengembalikan Irian Barat dalam wilayah RI. Otonomi daerah, mengusulkan
perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pembentukan Dewan Ekonomi
Nasional.
Sementara
program berjalan timbul masalah-masalah baru. Pertama kegagalan dalam memaksa
pihak Belanda agar menyerahkan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB.
Kedua, berkembangnya masalah anti Cina di kalangan rakyat yang tidak senang
melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian
dan pengrusakan terjadi di beberapa kota. Ketiga di beberapa daerah timbul
perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan terjadinya
pergolakan di beberapa daerah. Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari
beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara
membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan
Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera
Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Untuk
mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara
dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk
mengamankan negara di seluruh Indonesia. Tetapi usaha Presiden untuk
mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet baru ternyata gagal.
Sebab itu ia mengangkat Ir. Djuanda yang tidak berpartai sebagai formatur
kabinet. Kabinet Djuanda (1957-1959) bertugas menyelesaikan kemelut dalam
negeri, selain memperjuangkan kembalinya Irian Barat dan menjalankan
pembangunan. Pertama-tama kabinet ini membentuk suatu Dewan Nasional yang
bertugas memberi nasehat kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di
samping itu, diadakan musyawarah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemelut
nasional. Sebelum musyawarah itu menghasilkan keputusan terjadi “Peristiwa
Cikini”, yaitu percobaan pembunuhan Presiden.
Pada tanggal
10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet
Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak
menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan
berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan
Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi
dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara
semakin mengkhawatirkan.
3. Kondisi
Ekonomi Pada Masa Liberal
Sesudah
Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan pada Indonesia hutang
luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih tergantung pada
beberapa jenis hasil perkebunan saja.
Masalah
jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah : (a) mengurangi
jumlah uang yang beredar dan (b) mengatasi kenaikan biaya hidup. Sedangkan
masalah jangka panjang adalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang
rendah. Dari sisi moneter difisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan
pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib
sebesar Rp 1,6 milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni
Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp 200.000.000,00 dari negeri
Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan
ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk
merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi
187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta.
Selain itu
diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana
ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim
Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi
sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan
automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan
perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai
berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia
dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain
kecuali hasil perkebunan.
Upaya
perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian
(1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir.
Sasaran utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman,
pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada
tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun
(1956-1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri
Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar,
didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima
tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong
pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957.
Sementara
itu, ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak
dapat diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar,
sehingga mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang
menurun. Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959.
Dalam bidang
ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah
pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Penggunti-ngan uang ini
terkenal dengan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang
ini adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun
dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.
4. Upaya
Membangun Pengusaha Nasional
Sejak awal
kemerdekaan telah ditempuh upaya untuk membangkitkan suatu golongan pengusaha
nasional yang tangguh. Pemikiran ke arah itu dipelopori oleh Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikusumo yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekas mungkin
memiliki suatu golongan pengusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada
umumnya bermodal lemah, perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para
pengusaha itu, terutama pendidikan konkret atau dengan bantuan
Komentar
Posting Komentar